K

Tuesday, January 25, 2011

Baju tradisional juga seksi

sosok
wanita berkebaya identik
dengan keseksian yang tersaji
dalam satu paket keindahan. Tak
hanya anggun menawan namun
juga eksotik, sanggup
memancarkan aura sensualitas
tersendiri.
Lihat, bagaimana kebaya
berbahan brokat menerawang
serta kain jarik yang
membungkus tubuh dari
pinggang hingga kaki selalu
mengekspos jelas bentuk lekuk
tubuh pemakainya. Bagai siluet
jam pasir yang berjalan, pinggul
menawan itu memperlihatkan
lekuk torso yang menggairahkan,
pun jarik yang dibalut ketat pada
tubuh itu sanggup menampilkan
pantat yang terangkat sempurna.
Dan meski busana khas Jawa itu
terlihat ribet, namun tak
membatasi gerak tubuh
pemakainya sehingga mereka
masih sanggup melenggang
seksi. Tak ayal, keindahan ragawi
yang terpancar dalam balutan
kebaya ini semakin menggugah
rasa penasaran dan penuh
misteri. Apalagi kalau bukan
lewat cara bertutur yang halus
dan tertata, dengan pandangan
mata menggoda, menyambar
dan menggetarkan jiwa para
penikmat keindahan pesona
kecantikan Jawa.
Kebaya yang erat terkait dengan
simbol keseksian itu barangkali
bermula dari tarian sakral
Bedhaya Ketawang di Surakarta.
Konon, sembilan orang penari
perempuan yang menarikan
tarian tersebut haruslah pilihan
terbaik. Mereka, para penarinya,
haruslah berwajah rupawan.
Tubuh mereka dibalut kain jarik,
sedang bagian atas tubuh
terbuka, memancarkan kulit
kuning langsat yang berkilau
lulur. Dengan rambut yang
disanggul rapi, para penari
bergerak gemulai, pelan
mengikuti irama gending jawa,
seakan sedang menyampaikan
sebuah pesan.
Lalu, pesan apa yang hendak
disampaikan para penari
tersebut? Di salah satu
tulisannya, budayawan Seno
Gumira Adjidarma menyebut
tarian ini amat sakral sekaligus
sarat makna birahi dan
seksualitas. Bahkan berkembang
anekdot, para penari haruslah
perawan, sebab raja akan
memilih salah seorang penari
untuk menemaninya tidur malam
itu.
Seksualitas yang kentara dalam
tarian itu, kata Seno, bukan pada
bagian tubuh yang terbuka.
Justru bagian tubuh yang
sesekali terlihat mengintip di
balik kain jarik yang dikenakan
penari tersebut yang
mengundang decak kagum dan
rasa penasaran. Ya, lekukan kaki
diantara tumit dan mata kaki,
saat kaki menyapu kain jarik
yang menjuntai ke bawah, itulah
keseksian sejati yang tertangkap
mata.
Wanita dengan lekuk kaki yang
sensual, konon, dianggap
mampu menunjukkan
kemampuan permainan cintanya
di atas ranjang. Meski aneh,
kedalaman lekuk kaki menjadi
patokan hebat tidaknya wanita
dalam bercinta. Artinya, semakin
berkurang lekuknya, semakin
rendah pula seksualitas (daya
tarik seks) seseorang. Hmm..
Kembali pada kebaya. Disebutkan
dalam sejarah, Soekarno, mantan
presiden RI itu juga menyukai
wanita berkebaya dan berkain
jarik. Di masanya, kain jarik dan
kebaya bahkan muncul di
kalangan elit di wilayah publik
dan berstatuskan sebagai
pakaian nasional.
Kesukaan Soekarno pada wanita
berkebaya itu diperkuat dalam
disertasi Saskia Wieringa yang
berjudul "The Politization of
gender relations in Indonesia:
The Indonesian women ’s
movement and Gerwani until the
New Order state". Disebutkan,
sikap Soekarno terhadap
perempuan yang berkebaya
cenderung hanya didasarkan
pada rasa kagum semata dan
hasrat yang tertahan.
Tak hanya kebaya
Erotisme itu tak hanya milik
kebaya semata, suku Dayak
Kenyah juga menyuguhkan
erotisme serupa dalam balutan
pakaian Ta'a. Keseksian nampak
pada rok yang terbelah dari atas
hingga ke bawah di bagian
belakang. Dari balik belahan
itulah pria Dayak menikmati
erotisme yang sesungguhnya.
Tepatnya rajah yang melingkar di
paha dan kaki perempuan adalah
keindahan yang mereka nikmati.
Rajah inilah penanda erotisme
dan seksualitas para wanita
Dayak Kenyah.
Lalu apa yang menarik dari baju
Bodo, pakaian adat masyarakat
Bugis-Makassar itu? Baju
berbahan kassa tipis yang nyaris
transparan itu sekilas memang
mirip baju tidur wanita, yang
menonjolkan lekuk indah tubuh
pemakainya. Konon, para
perempuan Bugis dulunya tidak
malu-malu mengenakannya
tanpa apapun di balik busana itu,
hal ini diungkapkan seorang
penjelajah bernama James
Brooke yang berkunjung ke
Makassar di tahun 1840.
Namun, tak ada yang seksi dari
gadis berbaju bodo itu, meski
lekuk tubuh mereka terlihat jelas,
seperti dituturkan sebagian pria
Bugis. Bagi mereka, tubuh yang
sering terekspos jelas itu justru
secara perlahan melunturkan
keseksian sang wanita. Tubuh
polos dalam balutan busana
transparan itu tak lagi penting,
sebab orang lebih tertarik dan
penasaran mengetahui sesuatu
yang lebih menarik di balik tubuh
tersebut. Tak lain, kecerdasan
dan tutur kata seorang
perempuan adalah keseksian
sejati yang lebih diminati pria.
Seksualitas dalam kebudayaan
Jika dikaitkan dengan
kebudayaan, sensualitas dan
seksualitas memang bukan
hanya perkara kedekatan raga
saja. Seks adalah bagian dari
budaya, yang dipelihara,
ditularkan secara turun temurun
dan menjadi pedoman yang
memengaruhi tindakan dan
prilaku seseorang dalam
masyarakat. Kebudayaan serta
latar belakang yang berbeda
akan memengaruhi mereka
dalam menilai sebuah
seksualitas, sehingga seks pun
dipandang dan dinilai relatif bagi
setiap orang yang terbiasa hidup
dalam berbagai keragaman.

No comments: